Tentang [kami] yang Manja: Episode Terkaget-Kaget
dari
Cerita Anak Pelosok
(Nurul
Muthmainnah)
"I
have many beautiful flowers," he said;
"but the children are the most beautiful flowers of all".ㅤㅤㅤㅤ
—The
Selfish Giant by Oscar Wilde
Siang
itu seseorang mengirim surat pemberitahuan dari BMKG bahwa akan ada hujan deras
beberapa hari ke depan. Di sisa pergolakan dengan diri sendiri, antara hujan
dan kemauan, saya akhirnya memilih pergi. Benar-benar pergi menemui bocil-bocil
di puncak gunung tinggi. Dan memang hujan benar-benar turut dalam perjalanan
ini, ia seperti beradu semangat perihal siapa yang paling ingin mencapai batas
akhir, tapi tentu saja, kami lebih menyala. Air hujan kalah membara dengan
peluh lelah kami, yang sampai larut tetap melanjutkan perjalanan; dari
pendakian satu ke pendakian lain; dari kubangan satu ke kubangan lain; dari
aliran sungai satu ke aliran sungai lain.
Terkait sungai yang ada
di desa Bontosomba, kecamatan Tombopulu, Maros—lokasi tempat kami mengajar—saya
bersama teman-teman memiliki satu episode terkaget-kaget di sana. Dalam hal
ini, menjadi pemantik dari berbagai episode terkaget-kaget yang saya alami di
desa itu. Jadi sebelum pemberangkatan, kami sudah diingatkan bahwa akan
melewati sungai yang alirannya bisa menjadi sangat tinggi dan deras di
waktu-waktu tertentu. Ketika di separuh perjalanan, saya dan beberapa teman
yang berjalan kaki entah mengapa menjadi sangat terobsesi untuk melihat sungai
tersebut.
Bisa dibilang, sungai
menjadi tujuan kami laiknya Safe Haven. Berpikir jika telah melihat
sungai maka kami akan menyelesaikan perjalanan. Malam makin pendek dan kami
dibuat terkaget-kaget. Setelah berhasil melalui sungai yang dicari-cari,
ternyata perjalanan untuk benar-benar sampai masih tertinggal setengah
jalan—alias masih jauh, jauh-jauh sekali. Panjang umur kaki-kaki yang lecet!
“Oh Karaeng, oh Kamaseng…ada Palekko menanti untuk dihabisi di ujung cahaya
lampu perjalalan ini”, salah satu penyemangat yang coba untuk kami ingat-ingat.
Episode kedua rangkai
cerita terkaget-kaget terjadi pada keesokan harinya. Pagi itu hujan kembali
turun, kami terpaksa harus mengajar di dalam rumah. Adik-adik yang datang juga
masih beberapa, jauhnya jarak antar rumah warga menyulitkan bocil lain untuk
datang di kelas pertama. Kami—calon volunteer—telah dibagi menjadi tiga
kelompok pengajar dan saya ditempatkan pada kelas C, kelas yang terdiri dari
bocil kelas 1 dan 2—bahkan yang tanpa kelas pun ada, alias masih belum
bersekolah. Saufi dan Armin menjadi bocil-bocil pertama yang kami ajak belajar
bersama, lalu Ruki, Yuyun dan Alya pun datang menyusul di mata pelajaran kedua
di hari itu. Ada yang lucu dan membuat saya terkaget-kaget pada mereka,
kejadiannya terjadi setelah kami belajar berhitung dan mengenal alfabet
sederhana.
Terlepas dari kompetensi
bocil-bocil tadi di kelas Bahasa Indonesia dan Matematika yang beragam—dilihat
dari tingkat kelas dan usia—saya secara pribadi dibuat terkaget-kaget ketika
mendampingi mereka mengaji. Mereka benar-benar menunjukkan yang terbaik pada
kami di hal itu, maksud saya, benar-benar yang terbaik dari yang mereka kuasai.
Salah satu dari mereka membuka Iqra jilid 1, lalu membacanya di hadapan saya.
Dan tentu saja bacaanya sangat lancar, karena pada dasarnya ia telah sampai di
jilid 3. Ia memaksa ingin tetap dibacaan itu, berusaha sebaik mungkin mendapat
pujian dari saya, menunjukkan bahwa ia juga bisa sangat pandai di hal tertentu.
Ada lagi bocil yang berulang kali mengaji ditemani lebih dari tiga pendamping.
Ia sangat bersemangat, hingga ketika sebenarnya telah selesai malah kembali
ingin mengaji di hadapan kakak-kakak lain. Mungkin juga ingin menunjukkan
kemampuan mengajinya yang lumayan "lancar". Ahhh, saya
sepertinya mesti belajar banyak pada mereka juga tidak luput menyiapkan pujian
yang beragam pula.
Bersama bocil-bocil itu
selama kurang dari tiga hari, benar-benar menjadi satu momen terberi paling
saya syukuri. Mengutip puisi Road not Taken milik Robert Frost, bertemu
mereka meniscayakan saya untuk berhenti sejenak di antara dua jalan bercabang.
Menjeda untuk berakhir pada jalan yang jarang dilalui, penuh rerumputan
tertutupi rimbunnya pepohonan dan pegunungan. Jalan yang saya pilih itu pada
akhirnya yang malah membuat sebuah perbedaan—dan semoga juga perubahan. Meski
tidak bisa menurunkan Surga kepada mereka, saya berharap mampu menyelesaikan
apa yang telah dimulai di sana. Masih banyak yang ingin mereka pelajari, masih
banyak pertanyaan yang belum mereka ketahui. Lebih dari pada itu, capaian yang
kami targetkan belum terjadi di sana.
Episode terkaget-kaget
yang terjadi di sana terlampau banyak untuk dituliskan. Tentang kemanjaan yang
teralami bersama bocil, kakak volunteer, Ketupat, Karaeng, Kamaseang,
ular tangga dadu-dadu, first lopheemu Sandi, gigi Alya yang berdarah di
kelas menyikat gigi, dan kemanjaan selajut-selanjutnya. Dan pada akhirnya
kepulangan kami masih diantar dengan episode terkaget-kaget penuh kemanjaan
juga, hujan yang dipikir akan terus turun malah mereda. Dalam hati saya mengamini
agar hujan terus saja deras, menyambut doa bocil-bocil itu agar kami tidak
kembali pulang. Betapa bocil adalah bunga paling manja di antara yang lainnya,
sampai ketemu di episode terkaget-keget penuh kemanjaan selanjutnya!