Selasa, 13 April 2021

Cerita Anak Pelosok Batch 13



Tentang [kami] yang Manja: Episode Terkaget-Kaget

dari Cerita Anak Pelosok

(Nurul Muthmainnah)

"I have many beautiful flowers," he said;

                                                        "but the children are the most beautiful flowers of all".ㅤㅤㅤㅤ

—The Selfish Giant by Oscar Wilde

 

            Siang itu seseorang mengirim surat pemberitahuan dari BMKG bahwa akan ada hujan deras beberapa hari ke depan. Di sisa pergolakan dengan diri sendiri, antara hujan dan kemauan, saya akhirnya memilih pergi. Benar-benar pergi menemui bocil-bocil di puncak gunung tinggi. Dan memang hujan benar-benar turut dalam perjalanan ini, ia seperti beradu semangat perihal siapa yang paling ingin mencapai batas akhir, tapi tentu saja, kami lebih menyala. Air hujan kalah membara dengan peluh lelah kami, yang sampai larut tetap melanjutkan perjalanan; dari pendakian satu ke pendakian lain; dari kubangan satu ke kubangan lain; dari aliran sungai satu ke aliran sungai lain.

Terkait sungai yang ada di desa Bontosomba, kecamatan Tombopulu, Maros—lokasi tempat kami mengajar—saya bersama teman-teman memiliki satu episode terkaget-kaget di sana. Dalam hal ini, menjadi pemantik dari berbagai episode terkaget-kaget yang saya alami di desa itu. Jadi sebelum pemberangkatan, kami sudah diingatkan bahwa akan melewati sungai yang alirannya bisa menjadi sangat tinggi dan deras di waktu-waktu tertentu. Ketika di separuh perjalanan, saya dan beberapa teman yang berjalan kaki entah mengapa menjadi sangat terobsesi untuk melihat sungai tersebut.

Bisa dibilang, sungai menjadi tujuan kami laiknya Safe Haven. Berpikir jika telah melihat sungai maka kami akan menyelesaikan perjalanan. Malam makin pendek dan kami dibuat terkaget-kaget. Setelah berhasil melalui sungai yang dicari-cari, ternyata perjalanan untuk benar-benar sampai masih tertinggal setengah jalan—alias masih jauh, jauh-jauh sekali. Panjang umur kaki-kaki yang lecet! “Oh Karaeng, oh Kamaseng…ada Palekko menanti untuk dihabisi di ujung cahaya lampu perjalalan ini”, salah satu penyemangat yang coba untuk kami ingat-ingat.

Episode kedua rangkai cerita terkaget-kaget terjadi pada keesokan harinya. Pagi itu hujan kembali turun, kami terpaksa harus mengajar di dalam rumah. Adik-adik yang datang juga masih beberapa, jauhnya jarak antar rumah warga menyulitkan bocil lain untuk datang di kelas pertama. Kami—calon volunteer—telah dibagi menjadi tiga kelompok pengajar dan saya ditempatkan pada kelas C, kelas yang terdiri dari bocil kelas 1 dan 2—bahkan yang tanpa kelas pun ada, alias masih belum bersekolah. Saufi dan Armin menjadi bocil-bocil pertama yang kami ajak belajar bersama, lalu Ruki, Yuyun dan Alya pun datang menyusul di mata pelajaran kedua di hari itu. Ada yang lucu dan membuat saya terkaget-kaget pada mereka, kejadiannya terjadi setelah kami belajar berhitung dan mengenal alfabet sederhana.

Terlepas dari kompetensi bocil-bocil tadi di kelas Bahasa Indonesia dan Matematika yang beragam—dilihat dari tingkat kelas dan usia—saya secara pribadi dibuat terkaget-kaget ketika mendampingi mereka mengaji. Mereka benar-benar menunjukkan yang terbaik pada kami di hal itu, maksud saya, benar-benar yang terbaik dari yang mereka kuasai. Salah satu dari mereka membuka Iqra jilid 1, lalu membacanya di hadapan saya. Dan tentu saja bacaanya sangat lancar, karena pada dasarnya ia telah sampai di jilid 3. Ia memaksa ingin tetap dibacaan itu, berusaha sebaik mungkin mendapat pujian dari saya, menunjukkan bahwa ia juga bisa sangat pandai di hal tertentu. Ada lagi bocil yang berulang kali mengaji ditemani lebih dari tiga pendamping. Ia sangat bersemangat, hingga ketika sebenarnya telah selesai malah kembali ingin mengaji di hadapan kakak-kakak lain. Mungkin juga ingin menunjukkan kemampuan mengajinya yang lumayan "lancar". Ahhh, saya sepertinya mesti belajar banyak pada mereka juga tidak luput menyiapkan pujian yang beragam pula.

Bersama bocil-bocil itu selama kurang dari tiga hari, benar-benar menjadi satu momen terberi paling saya syukuri. Mengutip puisi Road not Taken milik Robert Frost, bertemu mereka meniscayakan saya untuk berhenti sejenak di antara dua jalan bercabang. Menjeda untuk berakhir pada jalan yang jarang dilalui, penuh rerumputan tertutupi rimbunnya pepohonan dan pegunungan. Jalan yang saya pilih itu pada akhirnya yang malah membuat sebuah perbedaan—dan semoga juga perubahan. Meski tidak bisa menurunkan Surga kepada mereka, saya berharap mampu menyelesaikan apa yang telah dimulai di sana. Masih banyak yang ingin mereka pelajari, masih banyak pertanyaan yang belum mereka ketahui. Lebih dari pada itu, capaian yang kami targetkan belum terjadi di sana.

Episode terkaget-kaget yang terjadi di sana terlampau banyak untuk dituliskan. Tentang kemanjaan yang teralami bersama bocil, kakak volunteer, Ketupat, Karaeng, Kamaseang, ular tangga dadu-dadu, first lopheemu Sandi, gigi Alya yang berdarah di kelas menyikat gigi, dan kemanjaan selajut-selanjutnya. Dan pada akhirnya kepulangan kami masih diantar dengan episode terkaget-kaget penuh kemanjaan juga, hujan yang dipikir akan terus turun malah mereda. Dalam hati saya mengamini agar hujan terus saja deras, menyambut doa bocil-bocil itu agar kami tidak kembali pulang. Betapa bocil adalah bunga paling manja di antara yang lainnya, sampai ketemu di episode terkaget-keget penuh kemanjaan selanjutnya!